Penandatanganan Traktat Sumatra antara Inggris dan Belanda
pada tahun 1871 membuka kesempatan kepada Belanda untuk mulai melakukan
intervensi ke Kerajaan Aceh. Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh
karena Kerajaan Aceh menolak dengan keras untuk mengakui kedaulatan Belanda.
Kontak pertama terjadi antara pasukan Aceh dengan sebagian tentara Belanda yang
mulai mendarat.
Pertempuran itu memaksa pasukan Aceh mengundurkan diri ke
kawasan Masjid Raya. Pasukan Aceh tidak semata-mata mundur tapi juga sempat
memberi perlawanan sehingga Mayor Jenderal Kohler sendiri tewas. Dengan
demikian, Masjid Raya dapat direbut kembali oleh pasukan Aceh. Daerah-daerah di
kawasan Aceh bangkit melakukan perlawanan.
Para
pemimpin Aceh yang diperhitungkan Belanda adalah Cut Nya’Din, Teuku Umar,
Tengku Cik Di Tiro, Teuku Ci’ Bugas, Habib Abdurrahman, dan Cut Mutia. Belanda
mencoba menerapkan siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan di
mana Belanda memusatkan pasukannya di benteng-benteng sekitar kota termasuk
Kutaraja. Belanda tidak melakukan serangan ke daerah-daerah tetapi cukup
mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Namun, siasat ini tetap tidak
berhasil mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
Tengku Cik Di Tiro - Teuku Umar -
Cut Nya Din
Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan Belanda berpikir
keras untuk menemukan siasat baru. Untuk itu, Belanda memerintahkan Dr. Snouck
Hurgronje yang paham tentang agama Islam untuk mengadakan penelitian tentang
kehidupan masyarakat Aceh. Dr. Snouck Hurgronje memberi saran dan masukan
kepada pemerintah Hindia Belanda mengenai hasil penyelidikannya terhadap
masyarakat Aceh yang ditulis dengan judul De Atjehers. Berdasarkan kesimpulan Dr. Snouck Hurgronje pemerintah Hindia Belanda
memperoleh petunjuk bahwa untuk menaklukkan Aceh harus dengan siasat kekerasan.
Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan dengan mengadakan
serangan besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman. Serangan-serangan tersebut
dipimpin oleh van Heutz. Tanpa mengenal perikemanusiaan, pasukan Belanda
membinasakan semua penduduk daerah yang menjadi targetnya. Satu per satu
pemimpin para pemimpin perlawanan rakyat Aceh menyerah dan terbunuh. Dalam pertempuran
yang terjadi di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Jatuhnya Benteng Kuto Reh pada
tahun 1904, memaksa Aceh harus menandatangani Plakat pendek atau Perjanjian
Singkat (Korte Verklaring). Biar pun secara resmi pemerintah Hindia Belanda menyatakan Perang Aceh berakhir
pada tahun 1904, dalam kenyataannya tidak. Perlawanan rakyat Aceh terus
berlangsung sampai tahun 1912. Bahkan di beberapa daerah tertentu di Aceh masih
muncul perlawanan sampai menjelang Perang Dunia II tahun 1939.
Pengetahuan:
Pada
tanggal 2 November 1871 Belanda mengadakan perjanjian dengan Inggris yang
kemudian menghasilkan Traktat Sumatra. Traktat tersebut berisi bahwa pihak
Belanda diberi kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedang Inggris
mendapat kebebasan berdagang di daerah siak.
Kesimpulan hasil penyelidikan Dr. Snouck Hurgronje adalah:
1. Belanda harus mengesampingkan Sultan, karena Sultan hanya sebagai lambang pemersatu, Kekuatan justru terletak pada Hulubalang dan Ulebalang.
2. Untuk menaklukkan rakyat Aceh, harus dilakukan serangan serentak di seluruh Aceh.
3. Setelah nanti mampu menduduki Aceh, mestinya pemerintah Hindia-Belanda harus meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.